Pendidikan Harus Tanamkan Nilai Kebajikan

Selasa, 29 Maret 2011

JAKARTA - Inti pendidikan seyogyanya menghasilkan manusia yang dapat menghargai dan memanusiakan manusia lain. Pendidikan merupakan proses menanamkan nilai-nilai kebajikan yang membuat seseorang menjadi dewasa secara intelektual dan emosional, yang pada akhirnya membentuk karakter yang baik.
Demikian terungkap dalam perbincangan Suara Merdeka dengan rohaniawan Romo Beni Sutrisno dan budayawan Sudjiwo Tedjo, Selasa (29/3).

Romo Muji menuturkan, sejak semula dia melihat sistem pendidikan Indonesia semata menjadikan guru sebagai mentor, sementara murid sebagai instrumen. Proses pengajaran tidak merangsang siswa berpikir merdeka, kritis, mengekploitasi kemampuan berpikir, melakukan refleksi, melainkan hanya membenamkan siswa dengan segala hapalan materi pelajaran.

Dengan pengajaran seperti itu akan menghasilkan siswa yang berpikir instans dan hanya disiapkan menjadi instrumen industri usai lulus sekolah. ’’Pendidikan seperti itu menjadikan orang berpikir sempit dan pragmatis, semata untuk kepentingan material yang tidak mengedepankan hati nurani. Banyak orang yang bergelar tinggi, namun tidak mampu berpikir merdeka,’’ ujar Romo Beni.

Untuk itu, lanjut dia, pendidikan budi pekerti harus dikedepankan. Juga pengajaran seperti menulis halus yang di antaranya bertujuan melatih ketekunan serta menghaluskan budi. Dengan kehalusan budi dan karakter akan menghasilkan peradaban sebuah bangsa menjadi baik.
’’Pendidikan kita menitikberatkan pada material seperti nilai kelulusan, sesuatu yang dapat dilihat dan diraba. Sedangkan pendidikan karakter yang hasilnya tidak dapat diraba, kurang diperhatikan,’’ tuturnya.

Budi Pekerti

Sementara Sudjiwo Tedjo menyatakan, inti dari pendidikan adalah menghasilkan manusia yang mempunyai etika dan budaya yang baik. Hal yang paling fatal adalah ketiadaan pendidikan budi pekerti.
’’Etika sejatinya merupakan nilai luhur yang berada di atas hukum positif. Beberapa kasus yang melibatkan para pemimpin negara, diakibatkan ketiadaan etika yang memadai,’’ ungkapnya.

Hal ini berbeda dengan zaman perjuangan dan awal kemerdekaan, di mana para pemimpin bangsa yang berbeda pandangan, secara pribadi tetap menghormati satu sama lain.
’’Inilah kebesaran sejarah kita. Etika tidak hanya berarti ungah-ungguh, namun juga nilai seperti jiwa kesatria, menghormati orang tua, bersikap jujur, dan sebagainya,’’ ujarnya.
Hal yang sama juga dikemukakan Suwarno, guru SD Negeri 1 Kedungrejo, Purwodadi, Grobogan. Dia mengakui adanya kemerosotan budi pekerti para siswa dibandingkan masa lalu.

Hal ini di antaranya disebabkan oleh lingkungan yang telah berubah. Pendidikan di sekolah tidaklah cukup, karena banyak nilai yang diserap anak didik di luar sekolah. Misalnya, dari tayangan televisi yang tidak semuanya mendidik.
’’Lingkungan sekarang memang sudah berubah. Anak-anak kadang meniru perilaku yang kurang baik yang ditayangkan televisi. Tantangan yang lebih besar ini memacu kami para guru untuk lebih banyak menanamkan budi pekerti di sekolah,’’ ungkap guru yang telah mengajar puluhan tahun itu. (J21-37)
Sumber : Suara Merdeka , Rabu, 30 Maret 2011

0 comments:

Posting Komentar

 
 
 
>